BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia memiliki aliran agama berbeda-beda. Memeluk suatu
aliran agama tergantung dari kepercayaan yang mereka yakini. Aliran itu sendiri
merupakan suatu pandangan atau sikap seseorang terhadap aliran tersebut. Manusia
apabila memiliki suatu keyakinan atau kepercayaan mereka akan selalu melakukan
apapun untuk melakukan keyakinan atau kepercayaan mereka. Bahkan manusia akan
terus berjuang untuk melakukan kepercayaan tersebut, tanpa memperhitungkan untung
dan rugi didapatkan. Aliran juga sering disebut dengan ajaran agar tidak
tercipta suatu kesesatan. Ajaran agama yang ada di Indonesia yaitu Islam,
Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha.
Ajaran agama mayoritas di Indonesia yaitu agama Islam.
Agama Islam di pulau jawa disebut dengan aliran kebatinan jawa (kejawen)
pangestu. Kejawen adalah suatu praktek atau sebuah ajaran. Kejawen tidak hanya
dilakukan oleh ajaran agama Islam, akan tetapi dari agama lain juga ada yang
melakukan kejawen. Kejawen bukanlah suatu agama akan tetapi praktek-praktek
yang dilakukan dalam kejawen dapat berupa sebuah keagamaan. Kejawen mengenal
Allah akan tetapi tidak sepenuhnya. Hanya bagian-bagian tertentu yang diyakini
pemeluknya. Aliran kejawen lebih berorientasi kepada ha-hal yang bersifat
spiritual atau tradisi-tradisi membudaya seperti melakukan tapa atau semedi.
Menurut P. Berger dan T. Luckmann (Robertson, 1998:62)
“agama adalah gejala yang penting dan sekaligus mempunyai sifat-sifat yang
saling bertentangan dalam masyarakat Barat Kontemporer”. Agama sebagai sistem
keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam
kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong atau
penggerak serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut
untuk berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan ajaran-ajaran agamanya.
Demi mengetahui lebih dalam mengenai ajaran agama yang ada
di pulau jawa, oleh karena itu kami memilih aliran kebatinan jawa (kejawen)
pangestu untuk dikaji lebih mendalam mengenai aliran tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan,
maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa saja kepercayaan yang terdapat
didalam aliran kebatinan jawa?
2.
Apa saja ritual yang terdapat
didalam aliran kebatinan jawa?
C. Tujuan
Dalam pembuatan makalah mengenai aliran kebatinan jawa maka
bertujuan:
1.
Untuk mengetahui kepercayaan apa
saja yang terdapat didalam aliran kebatinan jawa.
2.
Untuk mengetahui ritual apa saja
yang terdapat didalam aliran kebatinan jawa.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Untuk mengetahui dan
menambah wawasan mahasiswa mengenai aliran kebatinan jawa (kejawen) pangestu.
2.
Manfaat Praktis
a. Bagi
masyarakat, dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai aliran kebatinan
jawa.
b. Bagi
mahasiswa, dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai mata kuliah Sosiologi
Agama
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Religi
Istilah religi pada umumnya mengandung makna kecenderungan
batin manusia untuk berhubungan dengan kekuatan alam semesta, dalam mencari
nilai dan makna. Kekuatan alam semesta itu dianggap suci, dikagumi, dihormati,
dan sekaligus ditakuti karena luar biasa sifatnya. Manusia percaya bahwa “Yang
Suci” itu ada dan di luar kemampuan dan kekuasaannya, sehingga manusia meminta
perlindunganNya dengan cara menjaga keseimbangan alam melalui berbagai upacara.
Siapakah yang maha suci, kalau bukan yang diagungkan dewa atau bentuk
manisfestasinya dalam wujud benda, roh leluhur menurut kepercayaannya. Dengan
demikian, istilah religi disini menunjukkan adanya hubungan antara manusia
dengan kekuasaan ghaib di luar kemampuannya, berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan mereka yang termanifestasikan kedalam tiga wujud kebudayaan, yaitu
sistem gagasan, sistem tindakan dan artefak.
Religi adalah fenomena yang kompleks dan terelaborasi kedalam
setiap segmen kehidupan manusia. Oleh karena itu tidak heran jika muncul banyak
batasan dari para ahli yang saling berbeda, tergantung dari sudut pandang keilmuan
masing-masing. Antropolog misalnya, memandang religi sebagai gejala budaya.
Oleh karena itu, yang dipelajari dan dianalisa antara lain, berupa ritus, mitos
serta praktik-praktik religius dan berkenaan dengan aspek simbol.
Definisi yang melihat religi sebagai suatu upaya simbolis
dikemukakan oleh J.van Ball (1971:242) “religi adalah suatu sistem simbol-simbol
yang dengan sarana tersebut manusia berkomunikasi dengan jagat rayanya”.
Simbol-simbol itu adalah sesuatu yang serupa dengan model-model yang saling
menjembatani berbagai kebutuhan yang saling bertentangan untuk pernyataan diri
dengan penguasaan diri bila tujuan (yakni obyek yang dikomunikasi itu)
menyerupai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata lisan, maka
simbol-simbol itu berfungsi sebagai perisai yang melindungi (menghalangi)
seseorang dari kecenderungannya untuk memperagakkannya secara langsung.
Uraian di atas membuktikan kompleksnya pengertian tentang
religi, namun pada prinsipnya religi harus memuat lima unsur yaitu, adanya emosi,
keyakinan, upacara, peralatan dan pemeluk atau para penganut. Hal yang terakhir
ini cukup penting karena suatu upacara atau tindakan simbolis tertentu seperti
berdoa menadahkan tangan keatas bukan hanya sekedar gerakan kinetik tanpa arti.
Gerakan tangan tersebut seringkali merupakan gerakan simbolis yang sarat dengan
makna. “Demikian definisi tentang religi itu yakni definisi yang memberi memuat
hal-hal keyakinan, upacara dan peralatan, sikap dan perilaku, alam pikiran dan
perasaan di samping hal-hal yang menyangkut para penganutnya sendiri” (Koentjaraningrat,
1993:269-272).
Data tentang religi cukuplah kompleks dapat berupa
pandangan orang-orang atau masyarakat yang bersangkutan tentang hidup sesudah
mati, hal-hal yang dapat dipandang sebagai rujukan untuk menjelaskan dan menata
lingkungan nyata, tentang dewa-dewa atau segala sesuatu yang dipandang orang
sebagai obyek keramat dan dihormati atau segala sesuatu yang dipandang maha
dahsyat yang orang berlaku tunduk kepadanya. “Data religi itu juga berupa sejumlah
atau serangkai tindak perbuatan seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban,
makan bersama, menari, dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa,
bertapa, bersemedi dan intoksinasi” (Koentjaraningrat, 1993:81). Berdoa atau
bersembahyang yang ditujukan kepada yang adikodrati (supernatural) memainkan
alat dan memperdengarkan musik yang diiringi oleh tarian dan nyanyian tertentu,
melakukan perbuatan kinetik tertentu yang menggambarkan keadaan psikis
tertentu, memberikan “peringatan” atau khotbah yang ditujukan kepada orang
lain, mengucapkan mantera yang menyangkut mite, moral dan aspek keyakinan,
melakukan simulasi, menggunakan atau memakai benda tertentu yang diyakini
mempunyai mana, berbuat tabu yakni tidak menggunakan atau menyentuh sesuatu,
berpesta atau berselamatan, berkorban yakni menyediakan dan menyerahkan
sesajen, berkonggresi seperti berkumpul bersama, dan sebagainya.
Bertolak dari pandangan ini, maka sebutan religi tidak
hanya dikenakan bagi Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha yang mempunyai
penganut terbesar dan berasal dari berbagai bangsa, tetapi juga terhadap semua
keyakinan yang diorganisasikan dalam sistem-sistem tertentu dan
tindakan-tindakan berupacara yang dianut dan dilakukan oleh sedikit orang dalam
masyarakat-masyarakat bersahaja. Kelima “religi dunia” tersebut di atas di
negeri ini di sebut “agama” sedangkan “religi local” yang dianut terbatas oleh
suatu kelompok etnis tertentu dengan jumlah pemeluk relatif sedikit disebut
“kepercayaan” atau “keyakinan”.
Religi, kebudayaan, dan upacara, memperlihatkan suatu
perspektif tersendiri berkenaan dengan pengkajian mengenai sistem-sistem
kognitif dan simbolik. Bagi Geertz, religi merupakan bagian dari suatu sistem
kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan bersamaan dengan itu
kedudukannya berada dalam suatu hubungan dan untuk menciptakan serta
mengembangkan keteraturan tersebut. Religi
adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan
(moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada
diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai
hukum/keteraturan (order), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan
suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan
motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada. Walaupun pemikiran religi dikatakannya
sebagai tidak semata-mata menstrukturkan kebudayaan, tetapi religi juga dilihat
sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan; suatu pedoman yang beroperasi
melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan
individual.
B. Sinkreatisme
Sinkreatisme
adalah upaya untuk menenggelamkan berbagai perbedaan dan menghasilkan kesatuan diantara berbagai
sekte atau aliran filsafat. Upaya menghasilkan kesatuan itu merupakan tujuan
tertinggi dan demi hal itu dianggap pantas untuk mengorbankan prinsip dan
dogma. “Dalam antropologi dan teologi modern, istilah sinkreatisme itu paling
sering dipakai untuk menggambarkan upaya memadukan unsur yang terdapat dalam
berbagai macam pembicaraan yang berhubungan dengan masalah keagamaan, tanpa
memecahkan berbagai perbedaan dasar dari prinsip-prinsip yang terkandung
didalamnya” (Mulder, 1999:3-5).
Istilah
sinkreatisme menunjuk pada percampuran dan perpaduan yang merupakan akibat umum
dari persinggungan atau kontrak kebudayaan. Sinkreatisme adalah suatu proses
terjadinya pertemuan dua buah kebudayaan dan tidak menghilangkan jati diri
masing-masing. Sinkreatisme berbeda dengan akulturasi. Bedanya sinkreatisme
tidak menghasilkan kebudayaan baru, tetapi kebudayaan lama mengalami
penyesuaian.
C. Agama
Kata
"agama" berasal dari bahasa Sanskerta, agama yang berarti
"tradisi" atau "A" berarti tidak; "GAMA" berarti
kacau. Sehingga agama berarti tidak kacau. Dapat juga diartikan suatu peraturan
yang bertujuan untuk mencapai kehidupan manusia ke arah dan tujuan tertentu. Dilihat
dari sudut pandang kebudayaan, agama dapat berarti sebagai hasil dari suatu
kebudayaan, dengan kata lain agama diciptakan oleh manusia dengan akal budinya
serta dengan adanya kemajuan dan perkembangan budaya tersebut serta peradabannya.
Bentuk penyembahan Tuhan terhadap umatnya seperti pujian, tarian, mantra,
nyanyian dan yang lainya, itu termasuk unsur kebudayaan. Sedangkan kata lain
untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa latin
religio dan berakar pada kata kerja religare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada
Tuhan. Ajaran dan janji agama pada hakikatnya diselamatkan kepada massa yang
membutuhkan keselamatan. “Masa dan kepentingan mereka bergerak masuk kedalam
pusat organisasi profesional bagi “ penyembuh jiwa”, yang sesungguhnya, tak
lain adalah sumbernya pula” (Robertson, 1988:12).
Pengertian
dan definisi agama menurut para ahli. Agama menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Agama
adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang
berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin
berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah,
mencapai rohani yang sempurna kesuciannya. Definisi dan pengertian agama dalam
bahasa latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa disebut
Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din. Harun Nasution
mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi yang terkandung di
dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi kepada Tuhan yang
terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan bahwa agama merupakan
suatu ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Tajdab (1994:37)
“menyatakan bahwa agama berasala dari kata A, berarti tidak dan Gama, berarti
kacau, kocar-kacir”. Jadi, agama artinya tidak kacau, tidak kocar-kacir, atau
teratur. Maka, istilah agama merupakan suatu kepercayaan yang mendatangkan
kehidupan yang teratur dan tidak kacau serta mendatangkan kesejahteraan dan
keselamatan hidup manusia. “Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran
mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan
petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat (setelah mati),
yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhanya, beradab, dan manusiawi,
yang berbeda dari cara hidup hewan atau makhluk gaib yang jahat dan berdosa” (Robertson,1988:6).
Jadi, agama adalah jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia dalam
kehidupannya di dunia ini supaya lebih teratur dan mendatangkan kesejahteraan
dan keselamatan.
Fungsi agama
itu dalam masyarakat kalau kita kaji dari sudut pandang sosiologis. Secara
empris, agama dapat berfungsi dalam masyarakat antara lain sebagai:
(1) Faktor
yang mengintegrasikan menyatukan masyarakat;
(2) Faktor
yang mendisintegrasikan masyarakat;
(3) Faktor
yang bisa melestarikan nilai-nilai social;
(4) Faktor
yang bisa memainkan peran yang bersifat kreatif, inovatif bahkan bersifat
revolusioner.
Fungsi agama
ditinjau dari kajian sosiologis, ada dua macam. Pertama disebut fungsi
manifest, dan yang kedua fungsi latent. Fungsi manifest adalah fungsi yang
disadari yang biasanya merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh pelaku-pelaku
ajaran agama. Sedangkan fungsi latent adalah fungsi yang tersembunyi, yang
kurang disadari oleh pelaku-pelaku ajaran agama. Masalah agama tidak akan
mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri
ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
D. Ritual
Upacara
ritual sering disebut juga upacara keagamaan. Menurut Bustanuddin (2006:96) “upacara
yang tidak dipahami alasan konkretnya
dinamakan rites dalam bahasa
Inggris yang berarti tindakan atau upacara keagamaan”. Upacara ritual merupakan
kegiatan yang dilakukan secara rutin oleh sekelompok masyarakat yang diatur
dengan hukum masyarakat yang berlaku. Upacara ritual adalah sistem aktifasi
atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam
masyarakat yang berhubungan dengan bagaimana macam peristiwa tetap yang
biasanya terjadi pada masyarakat yang bersangkutan. Upacara ritual memiliki
aturan dan tatacara yang telah ditentukan oleh masyarakat atau kelompok
pencipta ritual tersebut, sehingga masing-masing ritual mempunyai perbedaan,
baik dalam hal pelaksanaan ataupun perlengkapannya.
Menurut
Bustanuddin (2006:97) "ritus berhubungan dengan kekuatan supranatural dan
kesakralan sesuatu”. Kerena itu istilah ritus atau ritual dipahami sebagai
upacara keagamaan yang berbeda sama sekali dengan yang natural, profan dan
aktivitas ekonomis, rasional sehari-hari. Ritual dilakukan sebagai salah satu
sarana mencari keselamatan dan bukti nyata tentang keyakinan yang dimiliki oleh
kelompok atau anggota masyarakat tentang adanya kekuatan yang Maha Dahsyat di
luar manusia. Upacara religi atau ritual adalah wujudnya sebagai sistem
keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, Dewa-Dewa, Roh-roh halus, Neraka, Surga
dan sebagainya, tetapi mempunyai wujud yang berupa upacara-upacara, baik yang
bersifat musiman maupun yang kadangkala.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kebangkitan Mistik Kebatinan
Menurut
Mulder (1984:5) “jawa adalah pusat politik kepulauan Indonesia kampung halaman
kelompok etnis paling besar dan paling sophisticated
diantara penduduk Indonesia yang amat beraneka”. Secara etnis, Jawa merupakan
mayoritas Indonesia, namun diantara mereka sendiri secara religius ada
keanekaragaman karena sekitar 5% sampai 10% diantaranya menganut Islam dalam
bentuk yang agak murni, sekitar 30% menganut Islam dalam versi yang sudah amat
senkritis dan di jawakan, sementara sebagian besar lainnya menganggap diri
mereka muslim nominal, yaitu mengaku diri islam namun tindakan dan pikiran
mereka lebih dekat kepada tradisi Jawa kuno dan Jawa Hindu. Kelompok tersebut
dikenal sebagai Abangan, dan
kebangkitan mereka secara kulturil dewasa ini.
Bagi
orang Jawa dewasa ini, sebenarnya mistik dan praktek-praktek magis-mistis
senantiasa merupakan arus bawah yang amat kuat kalau bukan malah esensi dari
kebudayaan mereka. Islam yang datang ke Jawa adalah Islam Sufi yang dengan
mudah diterima serta diserap ke dalam sinkretisme Jawa (Peacock, 1973).
Sebagian orang situasi ini mulai berubah karena pengaruh membaiknya komunikasi
dengan Timur Tengah dalam perempat terakhir abad ke 19, dan khususnya dibawah
pengaruh repormis Islam Moh.Abduh dari mesir sekitar pergantian abad. Jawa reformasi
ini ditokohi oleh K.H.A.Dahlan, yang mendirikan Muhammadiyah (1912) sebagai
perkumpulan kulturil muslim yang hendak memberi relepansi modern kepada Islam
di Indonesia (Wertheim, 1964, Peacock, 1978). Periode yang sama, kira-kira
1900-1930, terbentuknya juga perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya seperti
Sarikat Islam (1912) dan Partai Nahdatul Ulama (1926).
Gerakan-gerakan
kebangkitan kulturil dan politisi ini juga memperoleh pendukung-pendukung dari
antara orang-orang Jawa Abangan, seperti dalam Budi Otomo (1908), Sekolah-Sekolah
Taman Siswa (1922), dan dalam pembentukan partai-partai politik, seperti PKI
(1920), dan PNI dibawah Soekarno (1927). Pada tahun-tahun sebelum pemilihan
umum yang pertama (1955) politik dan agama cenderung disatukan dan pergulatan
antara Islam dengan Pretinsi Mayoritas serta kelompok-kelompok politis-kulturil
lainnya bermuara pada politisasi penduduk menurut aliran-aliran yang
berdasarkan keterlibatan religius, sementara toleransi tradisional dilandas
oleh pertikaian (Jay, 1963). Sekurang-kurangnya kebangkitan kulturil kaum
Abangan untuk sebagian didorong oleh tujuan-tujuan militan Islam yang
diberpolitikan memaksakan pandangan-pandangan dan cara-cara hidupnya kepada
mayoritas penduduk Jawa yang sinkretis. Meskipun pihak
kedua itu tak pernah menolak untuk dianggap Islam, namun mereka terutama mau
melakukan tata cara sendiri sebagaimana diilhami oleh kekayaan budaya mereka
sendiri. Hasilnya adalah bangkitnya kembali kejawaan mereka seperti misalnya,
ditunjukkan oleh bangkitnya kebatinan.
Kebangkitan
kembali kebatinan itu lebih dari sekedar suatu reaksi melawan Islam yang diberpolitikkan
saja. Menurut Hadiwijono, mistik tampil kepermukaan terutama pada masa-masa
penuh tekanan dan keresahan sosial, ketika orang-orang mulai mencari
landasan-landasan baru guna membangun bagan keadaan manusiawi. Tentang masa
pra-kemerdekaan, tampilnya gerakan-gerakan mistik ini didokumentasi secara luas
oleh ahli sejarah Sartono Kartodirjo, yang menganalisis banyak contoh
pemberontakan petani dibawah pimpinan tokoh mistis-religius karismatis sebagai
reaksi terhadap kondisi sosial-ekonomis yang tak tertanggungkan, ketakadilan
yang sewenang-wenang dan penindasan (1973). Selain ini masih dapat ditambahkan
pertikaian, pemberontakan, keresahan sosial, kemerosotan moral dan ketakamanan
Indonesia merdeka. Semua kondisi ini jelas mendorong proses perenungan mendalam
dan penafsiran kembali atas identitas.
Tahun
1955 merupakan tahun penting untuk menjelaskan pecahnya antara islam dan
sinkretisme kejawen. Berakhirlah
mitos-mitos bahwa Indonesia khususnya Jawa, adalah negara Islam. “Tahun yang
sama berdirilah Badan Kongres Kebatinan seluruh Indonesia (BKKI) di bawah
pimpinan Mr. Wongsonogoro yang bersidang dalam konferensi pertama di Semarang” (Mulder,
1984:5).
B. Kepercayaan Aliran Kebatinan
Mistik
Jawa dewasa ini secara umum disebut sebagai kebatinan.
“Kata kebatinan berasal dari kata Arab batin yang berarti sebelah
dalam, inti bagian dalam, di dalam hati, tersembunyi dan misterius” (Mulder,
1984:21).
Kedudukan
kebatinan tampaknya makin terjalin dan makin mantap selama negara diperintah
oleh pemerintah sekarang yakni kaum militer yang cenderung hati kepada mistik
kejawaan. “Dukungan nasional bagi kebatinan ini muncul dari rasa tidak suka
terhadap Islam yang berpolitikkan dan diberi pengaruh kuat kebudayaan Hindu-
jawa atas pemikiran kelompok penguasa itu” (Mulder, 1984:10).
Pandangan
mereka, popularitas kebatinan untuk sebagian besar dapat dijelaskan sebagai
suatu reaksi terhadap dogmatisme dan ritualisme agama- agama monoteisme yang
mengesampingkan kebutuhan orang jawa akan ekspresi mistik dan pengalaman batin.
Para penganut kebatinan jarang mencari-cari kekurangan dalam ajaran-ajaran
berbagai agama itu, mungkin mereka merasa amat muak terhadap bentuk- bentuk
tingkah laku religius tertentu. Bagi mereka, Tuhan itu ada dalam hati manusia
dan dalam hidup manusia sendiri harus menjadi doa terus-menerus kepada Yang
Maha Kuasa. Mereka tidak mengerti mengapa orang harus bersembahyang lima kali
sehari, atau mengapa harus dalam gereja, dan mengapa doa-doa harus diteriakkan
dengan keras-keras dari pengeras suara yang ada di mesjid. Bagi kaum Abangan
jawa, Tuhan bukanlah hakim yang jauh dan tidak terdekati, sebaliknya “tuhan”
begitu dekat dengan manusia lebih dari
apapun juga, karena pada dasarnya manusia adalah bagian dari Hakekat ilahi.
Mereka memang mengakui bahwa ibadah agama-agama timur tengah itu ada gunanya
sebagai langkah-langkah pertama menuju “Tuhan” dan meski dokrin-dokrin malahan
juga keristen berpengaruh pada peristilahan dan pemikiran mistik jawa, namun
mereka tidak dapat menerima bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir, atau bahwa
keristus adalah justru selamat yang satu-satunya. Karena dekatnya mereka dengan
realitas asli, mereka mengakui bahwa wahyu dapat turun setiap hari. “Pesan
mistik meraka tidak banyak menjanjikan penyelamatan atau surga, melainkan
tertuju pada penafsiran hal-hal duniawi dalam suatu perspektif kosmologis” (Mulder,
1984:11-12).
Jadi,
kepercayaan kebatinan adalah suatu kepercayaan yang bersifat mistik kejawaan
yang sangat memegang nilai keteradisionalan dimana mereka yakini bahwa Tuhan
ada pada setiap diri manusia tanpa prantara-prantara baik itu berupa para Nabi
maupun berupa Kitab-Kitab Suci.
C. Ritual Aliran Kebatinan
Pada
dasarnya, aliran kebatinan merupakan; sekolah; bagi individu untuk belajar
mengarungi jalan mistik; tujuan seseorang ini jelas diakui. Kebatinan, dalam
semua variasinya adalah kebudayaan manusia-batin, mengembangkan ketenangan
batin dan rasa untuk mencapainya. Metode mistik yang umumnya dijalankan
biasanya disebut sujud atau penyerahan diri. Selama penyerahan diri inilah
batin seseorang secara intuintif dapat mengalami kehadiran ”Tuhan”. “Pesatuan
mistik ini pada hakikat bersifat bebas mengalir, tidak terarah, dimana prakarsa
untuk dirasakan timbul bersama “pihak lain” yang dicari pada persiapan dan
pembersihan diri dari para penganut” (Mulder, 1984:30).
Manunggal
dengan kenyataan “Tuhan” memang diakui sulit penganut kebatinan harus
menyempurnakan penyerahan dirinya dengan melatih dan menjelaskan rasanya. Pada
dasarnya itu merupakan latihan sujud; isi dan bentuk latihan-latihan itu amat
bermacam-macam tergantung pada aliran dan gurunya. Mereka mungkin menuruti pola
ibadah Islma, seperti bertiarap dihadapan “Tuhan” sambil memusatkan dirinya
pada rasa; atau zhikir, paraktik mistik Islam yang mengulang-ulang
ungkapan-ungkapan religius. Aliran lainnya mempraktekkan doa diam atau latihan
konsentrasi pendek sementara banyak yang lain tetap menjalankan sujud sebagai
peristiwa eksistensi yang mengantarkan yang berlangsung hampir setengah jam.
Umumnya, latihan sujud berlangsung antara lima sampai sepuluh menit. “Adapun
bentuk sujud yang dijalankan, hal itu merupakan bentuk dari perwujudan dari
penyerahan diri seseorang kepada Tuhan” (Mulder, 1984:30-31).
Mistik
yang dipraktekkan dalam berbagai aliran kebatinan tidak mengembangkan disiplin
mental yang kuat seperti yag dituntut dari ahli kebatinan perseorangan yang
menjalankan tapa dan yang dapat
melakukan meditasi sendirian
sepanjang malam. Guru biasanya mengakui pentingnya bentuk-bentuk tapa yang sederhana sebagai persiapan yang baik
untuk sujud, namun ia pun memperingatkan murid-muridnya untuk menjalankan semedi yang sesungguhnya. Karena praktek itu sungguh-sungguh berbahaya
lagi pula menuntut persiapan dan pengalaman mistik yang lama, lebih-lebih lagi
para anggota biasa dalam aliran kebatinan tidak berniat untuk mencapai tingkat
mistik yang tinggi. “Bagi mereka praktek kebatinan pada dirinya sendiri
merupakan tujuan yang mulia; sudah puas sekali duduk dekat guru kharismatik dan
“mandi” dalam wahyunya, mendengarkan kata-kata yang memberi ilham dan untuk
berhubungan secara bersama dengan alam adiduniawai yang mempesona di dalam
suasana yang rahasia” (Mulder, 1984:30-31).
Umumnya,
pertemuan-pertemuan kebatinan berlangsung di rumah sang guru. Pria dan wanita
berkumpul bersama-sama dan orang-orang dari berbagai usia boleh ikut. Bila
semua sudah hadir, pertemuan kemudian dibuka dengan sujud pengheningan, yaitu
sujud yang dilakukan untuk berkonsentrasi untuk menciptakan keheningan batin. “Suasana
pertemuan-pertemuan kebatinan cenderung menyenangkan, akrab dan spontan” (Mulder,
1984:31-32).
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Masyarakat
jawa pada umumnya mempunyai beberapa aliran-aliran yang mereka yakini salah
satunya aliran kebatinan, yaitu aliran yang menganggap bahwa di dalam dirinya ada
suatu kepercayaan yang bersifat mistik kejawaan yang sangat memegang nilai
leluhur, dimana mereka yakini bahwa Tuhan ada pada setiap diri manusia tanpa
prantara-prantara baik itu berupa para Nabi maupun berupa Kitab-Kitab Suci.
B.
Saran
Hendaknya
kita bisa memahami adanya berbagai munculnya suatu paham-paham kebatinan atau
kepercayaan yang ada di dalam masyarakat. Agar kita bisa menerima adanya suatu
kepercayaan yang dianggap baik bagi setiap individu atau masyarakat tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Agus,
Bustanuddin, 2006. Agama Dalam Kehidupan
Manusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ball,van,
1971. Symbols for Comunication: An
Introduction to the Anthropological Study of Religion. Asean: van Gorcun
& Company.
Koentjaraningrat,
1993. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mulder,
Niels, 1999. Agama Hidup Sehari-hari, dan
Perubahan Budaya Jawa, Mungthai dan Filipina. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Mulder,
Niels, 1984. Kebatinan dan Hidup
Sehari-Hari Orang Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
Robertson,
Roland, 1988. Agama dalam Analisa dan
Interpretasi Sosiologis (One ed). Jakarta: Rajawali.
0 Response to "Makalah Sosiologi Agama Aliran Kebatinan Jawa"
Post a Comment